Pembelajaran Melalui Nama Tempat untuk Mempertahankan Warisan Budaya Indonesia

Table of Contents

MELINDA RAHMAWATI, S.Pd ., Mahasiswi Pendidikan IPS pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, melaporkan dari Jakarta

Tenggelam dalam aktivitas riset yang beraneka ragam membuat saya hampir lupa untuk berbagi cerita. Waktu yang berjalan seolah lewat begitu saja tanpa terdokumentasikan dalam sebuah tulisan.

Namun, seorang sejarawan tetap punya cara tersendiri untuk merefleksikan diri di tengah perputaran waktu yang berlangsung cepat itu. Kali ini, saya akan coba menggambarkan sebuah refleksi dari salah satu kajian penelitian saya yang sudah berlangsung.

Ada minat kuat yang muncul saat pertama kali melihat kata "Toponimi". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring edisi keenam, istilah itu merujuk kepada bidang ilmu onomastik yang mempelajari tentang nama-nama lokasi atau bisa juga diartikan sebagai studi tentang asal-usul nama daerah.

Studi itu membimbing saya ke sebuah gagasan penelitian yang menurut pendapat saya perlu diterapkan dalam praktiknya. Lewat analisis topografi nama tempat ini, saya menyadari ada kesempatan untuk memperkenalkan budaya setempat kepada siswa di lingkungan sekolah.

Tidak seluruh siswa paham tentang latar belakang nama suatu wilayah. Sebagai contoh mudah di kota Banda Aceh, terdapat satu area yang dikenal sebagai "Gampong Jawa".

Banyak lagi contoh yang dapat ditemui tentang nama wilayah yang memakai kata "Lam" di Aceh. Ada pula beberapa kasus mirip di dekat kita.

Penelitian yang saya laksanakan di Jakarta secara jelas membahas tentang daerah Pejalan dan Pecinan (yang lebih dikenal sebagai Glodok di Jakarta). Berdasarkan penyelidikan sejarah, kedua lokasi ini muncul bersamaan dengan kehadiran pedagang Tionghoa dan Arab-India yang menetap di Kota Batavia pada masa sekitar tahun 1621.

Seperti halnya kehadiran Gampong Jawa di Kota Banda Aceh yang dimulai ketika pasukan Kerajaan Demak datang untuk tujuan perang menghadapi Portugis pada masa sekitar abad ke-15. Ada pula berbagai informasi menarik lainnya yang tersembunyi dalam pembentukan suatu wilayah. Salah satunya adalah asal-usul nama Blower atau Lamteumen yang justru berasal dari nama-nama individu bukan warga lokal Aceh.

Penamaan tempat di suatu daerah bukan cuma memberikan informasi yang menarik untuk diselidiki. Malahan, hal itu membuka peluang bagi kita untuk mempelajari lebih dalam tentang peninggalan warisan budaya intangible—yang berarti tradisi dan keahlian luhur nenek moyang kita—untuk generasi akan datang.

Inilah cintaku terhadap warisan budaya tidak bermaterial yang diserahkan oleh nenek moyangku dari suku Aceh kepada anak-cucunya di masa mendatang. Selain mengajarkanku tentang nilai vital keseimbangan serta tekad dalam menjalankan aspek-aspek hidup sesuai denganajaran agama Islam, hal ini juga membukakan mataku atas sebuah pepatah yaitu "di negeri orang turunlah hujan emas, di negeri sendiri turunlah hujan batu; tetapi lebih baik tinggal di negeri sendiri".

Cintai dan pertahankan wilayah asalmu sampai akhir hayat. Masyarakat Aceh mempunyai Hikayat Prang Sabi, sebuah karya berharga yang mencatat segala peristiwa penting bagi kami semua. Selain itu, UNESCO juga mengakui Hikayat Aceh serta puisi-puisi Hamzah Fansuri sebagai Warisan Dunia (Memory of the World) MoW.

Pada studi ini, referensi utama untuk analisis toponimik meliputi laporan hasil penelitian oleh Retno Lisa Sari dan Kasriwan pada tahun 2022 dengan judul "Toponimi Daerah Metro Sebagai Referensi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah". Laporan tersebut menunjukkan bahwa nama-nama tempat di sejumlah wilayah Kota Metro, Lampung, memiliki makna budaya dan sejarah yang sangat spesifik dan bisa digunakan dalam proses pengajaran.

Pencarian topografi yang didapatkan berkaitan dengan studi nama tempat itu meliputi, pertama, penamaan area menurut latar belakang etnis masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, dan kedua, penamaan lokasi yang telah digunakan semenjak era kekuasaan Koloni Belanda.

Kehadiran program belajar berdasarkan topografi bukan hanya menambah variasi atmosfer untuk siswa saat melakukan proses belajar mengajar.

Selain itu, para siswa memperoleh pengalaman signifikan melalui aktivitas pembelajaran yang mereka jalani sampai pada akhirnya mendorong mereka untuk belajar dengan menciptakan sesuatu. Mereka bukan cuma mengetahui hal-hal baru, tapi juga bisa mengasah kemampuan mereka dalam membuat hasil kerja yang membantu melestarikan warisan sejarah dan budaya di komunitas setempat.

Sebuah sumber tambahan berasal dari laporan riset yang disusun oleh Sigit Widiatmoko dan tim pada tahun 2023 dengan judul "Pemikiran tentang Nilai-nilai Budaya dalam Penamaan Tempat Sebagai Sarana Mengoptimalkan Pembangunan Pariwisata di Desa Medalsari, Kabupaten Karawang".

Dalam laporan hasil penelitian itu disebutkan bahwa nama tempat pada suatu daerah ternyata bisa menggugah pemikiran tentang aspek-aspek hidup masyarakat mulai dari segi sosial sampai keyakinan mereka, baik sebagian maupun keseluruhan.

Usaha pencerminan atas sudut pandang nilai-nilai budaya dalam toponim Desa Medalsari dapat mendukung pemahaman visual mengenai sistem kepercayaan yang telah lama dianut warga setempat.

Dengan menggunakan skema penilaian yang mencakup aspek lingkungan, hubungan keluarga, serta pelestarian warisan budaya yang telah diturunkan secara generasi demi generasi, kesempatan untuk mendorong perkembangan desa menjadi destinasi pariwisata kini semakin lebar.

Berdasarkan kedua hasil riset itu, tampak dengan jelas keuntungan dari studi topografi lokal yang bisa membantu dalam melestarikan warisan adat sampai beberapa generasi akan datang. Kepentingan untuk menjaga warisan adat ini harus diperhatikan dengan cermat bagi anak cucu bangsa di kemudian hari agar mereka dapat memahami identitas diri mereka.

Jangan kita senantiasa mengatribusikan segala masalah kepada dinamika perkembangan sosial di tengah era globalisasi serta modernisasi yang kini sedang berlangsung. Sebab, pergeseran tersebut tak dapat dibendung atau bahkan ditentang. Pada intinya, masyarakat pada dasarnya cenderung bervariasi dari masa ke masa.

Keterampilan menyesuaikan diri terhadap perubahan serta usaha introspeksi pribadi memastikan bahwa tiap komunitas tetap menghargai identitas aslinya.

Pada masa lalu, jauh sebelum kedatangan pengobatan modern, 'indatu' kami telah mengetahui beragam jenis bumbu dan rempah yang bisa dipakai sebagai racikan obat tradisional.

Masyarakat Aceh mengetahuinya melalui Kitab Tajul Muluk dan Kitaburrahman Fitthibbu Walhikmah. Terapi ini memiliki sedikit dampak negatif dari zat-zat kimia serta dapat dengan mudah ditemukan di area sekitaran mereka.

Sebelum ada struktur bangunan moderen, penduduk Aceh telah memiliki petunjuk tertentu untuk merancang rumah atau gedung-gedung lain. Meskipun belum familiar dengan sistem kalender yang digunakan hari ini, mereka sudah bisa mengetahui waktu tanam padi serta musim laut berdasarkan sinyal-sinyal dari lingkungan sekitar.

Seharusnya warisan 'indatu' seperti itu tidak lenyap ditelan jaman atau pudar seiring berjalannya waktu. Salah satu cara untuk mencegah hal ini adalah dengan menyatukan aspek modernisasi dengan harta karun budaya setempat, sehingga warisan tersebut tetap bertahan dan dihargai.

Akhirnya, saya merasa waktunya telah tiba untuk menghadirkan metode belajar berdasarkan lokasi tersebut ke dalam proses pengajaran di kelas. Setiap area disekitar kita memiliki potensi sebagai pelaku diam atas suatu peristiwa historis atau membawa informasi menarik yang layak diketahui. Lebih jauh lagi, tak bisa dimungkiri jika ada warisan adat istiadat yang tersembunyi mirip dengan harta karun tertanam waktu.

Untuk memastikan generasi mendatang tak terlupakan tentang identitas mereka, sekarang waktunya menyampaikan peninggalan itu lewat pendidikan yang signifikan, misalnya melalui metode belajar toponimik. Jangan lupa bahwa warisan ini merupakan hadiah dari nenek moyang Aceh kepada anak cucu di kemudian hari.

Posting Komentar